Notification

×

Iklan

Iklan

Tegas!!! SEM - KULBAR Tolak Perkebunan Tebu yang dikelolah oleh PT. Sumagro Sawitara

Wednesday, 5 May 2021 | May 05, 2021 WIB Last Updated 2021-05-06T09:15:28Z
    Share

 

Foto : Asi, Ketua SEM - KULBAR yang sedang bicara memegang mic/DokPri.

BUTUR SULTRA, NEWSKRITIS.COM - Komunitas Sosial Ekonomi dan Masyarakat Kecamatan - Kulisusu Barat (SEM - KULBAR) dengan tegas menolak Perkebunan Tebu di kecamatan Kulisusu Barat yang dikelolah oleh PT. Sumagro Sawitara.


Dalam keterangan persnya, Penolakan yang mereka sampaikan atas dasar tingginya animo masyarakat yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani untuk membuka lahan baru untuk pengembangan jenis komoditi perkebunan yang memiliki nilai ekonomi seperti nilam, tanaman porang dan lain-lain, namun masyarakat mengalami kebingungan untuk mengolahnya.


Mereka sangat menyesalkan adanya pembiaran yang dilakukan Pemda kepada PT. Sumagro Sawitara yang gencar melakukan pembelian lahan secara besar-besaran. Dan karena ditengah himpitan ekonomi untuk biaya anak-anak yang masih kuliah, sekolah dan kebutuhan hidup sehari-hari terpaksa masyakarat menjualnya.


“Harusnya pemdalah yang menjadi jembatan persoalan ini dan tidak harus melakukan pembiaran. Yang khawatirkan kedepan, masyarakat setempat akan menjadi buruh ditanahnya sendiri. Sebab, sistem plasma yang dijanjikan perusahaan hanyanya pemanis saja,” ujar Asi, Ketua SEM -  KULBAR, Kamis (6/5/2021).


Mereka juga sangat menyesalkan adanya oknum tertentu yang memfasilitasi Pihak Perusahaan untuk melakukan proses jual beli tanah kepada pihak perusahaan. Yang semestinya itu tidak boleh terjadi dengan pertimbangan jangka panjang setelah generasi hari ini.


“Apapun alasannya, seharusnya Pemda menjaga tanah rakyat agar tidak dibeli oleh pihak investor. Karena kami tidak melihat keseriusan investasi tersebut, bahkan hanya akan merugikan masyarakat setempat, akibatnya lahan tersebut terlantar dan tidak bisa dimanfaatkan karena telah menjadi lahan investasi milik perusahaan tebu,” kata Asi.


Mereka juga menambahkan, adanya dugaan perusahaan untuk menguasai tanah dengan maksud tertentu. Hal ini dikatakannya, karena sampai saat ini lahan tersebut belum dikelolah dengan baik.  


“Kami duga orientasi perusahaan bukan membuka perkebunan tebu, tapi ada maksud tertentu dibalik semua ini. Bisa jadi penguasaan tanah, pengelolaan limbah kayu, atau sumber daya alam yang terkandung didalamnya seperti potensi pertambangan. Karena sudah kurang lebih 9 tahun berjalan perusahaan ini belum ada tanda-tanda keseriusannya. Justru hanya gencar membeli lahan masyarakat, ketimbang membuka lahan perkebunan tebu,” imbuh Asi.


Dalm hal ini pula, mereka menginginkan pembangun daerah harus dengan cara yang manusiawi tanpa ada yang harus dirugikan. Sehingga UU No 5 Tahun 1960 yang memberikan penegasan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air, dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur dapat berdiri tegak di Buton Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.


“Kami menyarankan kepada Pemda Butur, kalau maksud Pemda dengan mendatangkan investor adalah membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, mengapa Pemda tidak merubah metodenya? Contoh, Pemda kerahkan masyarakat untuk membudidaya Tebu, menyiapkan bibitnya, lalu dikelola melalui Perusahaan Daerah dan Pemda membuat kontrak kerjasama kepada perusahaan yang akan membeli hasil kebun jenis tebu tersebut. Dengan demikian kekhawatiran masyarakat mengenai tanah agar tidak dikuasai oleh investor dapat dihindarkan. Kami pikir itu lebih aman dan terkendali,” sambung Asi.


“Berhubung Perusahaan Daerah belum ada di Buton Utara, maka Pemda bersama DPRD harusnya membentuk Perusahaan Daerah sebagaimana Perusda merupakan hal penting dan strategis dalam pembangunan daerah. Kami pikir itu lebih efektif. Terakhir, kami meminta kepada Bupati Untuk mencabut izin lokasi yang diberikan kepada sumagro Sawitara yang tidak memberi manfaat bagi masyarakat setempat,” tutup Asi.


Laporan : Adhar.

Editor    : Adhar.