Notification

×

Iklan

Iklan

Tanah Adat Bukan Tanah Pemerintah

Thursday 9 September 2021 | September 09, 2021 WIB Last Updated 2021-09-09T10:51:18Z
    Share


Penulis: Muhammad Isya Gasko.

.

"Orang akan lupa diri ketika diperhadapkan dengan rupiah dan kepentingan"


NEWSKRITIS.COM - Saya pikir kalimat itu sangat tepat untuk membuka sekaligus memantik opini yang tengah kawan-kawan baca detik ini. Sejauhmana kita; manusia mampu mempertahankan idealisme dihadapan rupiah yang agung dan kepentingan yang birahi adalah pertanyaan yang akan terus tumbuh menjamur di kepala. Seperti kebijakan yang telah bertahun-tahun menjarah rahim bumi Marafenfen hingga saat ini.


Tanah yang adalah warisan dari nenek moyang milik masyarakat adat  Marafenfen, Aru Selatan Kabupaten Kepulau Aru, Maluku  yang kemudian secara sepihak diserobot oleh TNI Angkatan laut guna membangun lapangan terbang dan berbagai fasilitas lainnya. Padahal lahan tersebut milik masyarakat adat yang selama ini di atasnya terdapat hutan perawan tempat masyarakat mengambil sarang  burung walet, serta menjadi wilayah perburuan binatang liar (babi, rusa dan lainnya), dan kebun tempat masyarakat menggantungkan hidup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi termasuk  pendidikan anak-anak. 


Kawasan itu juga menjadi tempat hidup satwa liar yang dilindungi seperti Burung Cendrawasih,  Kaka Tua Jambul Kuning dan  Kaka Tua Raja.  Setelah masuknya  TNI  AL tahun 1991,  masyarakat  tidak  lagi bisa  berakses bebas dilahan tersebut. Ya, sejak 1991 masyarakat adat desa Marafenfen telah kehilangan hak ulayat mereka di atas tanah sendiri. Kawan-kawan pembaca mungkin akan berpikir seperti saya pada awalnya, kenapa masalah seurgen ini baru terpublikasi? Padahal jangka waktu perlawanan masyarakat adat bukan baru dilakukan untuk sekarang ini. 


Masalahnya tidak lain dan tidak bukan karena terindikasi adanya paksaan dan acaman dari pihak TNI AL kepada masyarakat adat desa Marafenfen. TNI AL kini telah menguasi lahan  dengan membuat sertifikat  yang didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 tanggal 22 Januari 1992,  yang menjadi lampiran surat TNI AL kepada KOMNAS HAM Perwakilan Maluku. Pada surat TNI AL kepada KOMNAS HAM,  dicantumkan  sejumlah  nama warga Desa Marafenfen yang seakan-akan hadir dalam musyawarah untuk  pelepasan tanah kepada TNI AL  di masa itu. Padahal, setelah nama-nama tersebut diteliti,   ternyata ditemukan 1 nama  yang orangnya mengalami gangguan ingatan sejak lahir,  1 nama yang orangnya tidak pernah lahir, terdapat 8 nama yang orangnya atau orang tuanya telah lama meninggalkan Desa Marafenfen sejak puluhan tahun, terdapat 6 nama yang masih anak-anak (di bawah umur), terdapat 6 nama warga pendatang yang tidak berhak  atas tanah, terdapat nama yang disebut sebagai tokoh masyarakat namun yang bersangkutan bukan tokoh masyarakat, dan berbagai kejanggalan lainnya yang disetting oleh Pemerintah Provinsi Maluku (Gubernur Maluku saat itu) bersama dengan Badan Pertanahan Nasional dan TNI AL guna mengkibiri hak-hak masyarakat adat. 


Jika kita mengacu pada SK yang diberikan oleh Gubernur Maluku yang telah mencantumkan luas tanah 650 Ha, namun pada Sertifikat Hak Pakai  menjadi  seluas 689 Ha, sehingga Sertifikat Hak Pakai yang diterbitkan oleh BPN  yang mengacu pada SK Gubernur tidak memiliki dasar hukum. Bagaimana bisa BPN menerbitkan Sertifikat Hak Pakai yang melenceng dari SK yang diberikan oleh Gubernur Maluku? Hal ini lagi-lagi menjadi kejanggalan dan merupakan suatu usaha untuk mengeksploitasi hak-hak masyarakat adat. 


Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013, bahwa tidak ada tanah negara dalam wilayah masyarakat adat. Berpatokan dari putusan tersebut (sekali pun baru terbit pada tahun 2013) seharusnya, TNI AL, Gubernur Maluku dan BPN  menghargai hak-hak masyarakat adat karena jiwa dan semangat untuk menghargai hukum adat masyarakat adat dengan hak-hak petuanan adatnya, telah ada jauh sebelum itu,  yakni dengan berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960. Pada bagian konsiderans UU tersebut menentukan hukum agraria nasional,   berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Apalagi, masyarakat adat dengan hak-hak atas tanah petuanannya telah ada jauh sebelum adanya negara. 


Pemerintah tidak memiliki hak untuk mengkapling tanah masyarakat adat . Pengkaplingan liar yang dilakukan oleh pemerintah merupakan penyalahgunaan tata ruang, karena banyak jalur hijau yang akan dialihfungsikan sebagai Bandar Udara, tanpa ada persetujuan dari masyarakat adat desa Marafenfen yang mempunyai hak ulayat. 


Masyarakat adat tidak boleh tinggal diam, kita harus menempuh segala upaya demi mempertahankan hak-hak kita sebagai bangsa yang beradat, bangsa yang memegang teguh konsep keramat hutan, bangsa yang tahu mana miliknya dan bukan miliknya. 


Tanah Adat Bukan Tanah Pemerintah!!! 

#saveMarafenfen.

#savetanahadat.

#saveAruislands.**