Foto : Rembuk Sarinah Nasional yang berlangsung secara daring, gagasan Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI. |
JAKARTA, NEWSKRITIS.COM – Beberapa isu kemanusiaan menjadi pembahasan utama dalam Rembuk Sarinah Nasional, yang digagas dan diselenggarakan oleh Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI selama 2 hari, 9-10 Maret 2021.
Acara itu berlangsung daring. Bertemakan Soliditas Sarinah Nasionalis Menyonsong Peradaban Baru. Dengan tagline Satukan Kekuatan, Menangkan Peradaban. Diikuti seluruh perwakilan cabang GMNI se-Indonesia. Mayoritas pesertanya, sarinah ---sebutan anggota/kader perempuan di GMNI.
Ada tiga hal utama yang jadi pembahasan. Yakni pengawalan lanjutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Stunting dan Perkawinan Anak.
“Pembahasan pertama mengenai RUU PKS, yang memang menjadi pengawalan kita sejak tahun lalu. Dengan rembuk ini, kita koordinasi dan konsolidasi lagi mengenai strategi pengawalan lanjutan, mengenai gerakan-gerakan ke depan, dalam rangka mendorong agar RUU ini segera dibahas dan disahkan menjadi Undang-undang,” kata Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI Fanda Puspitasari, yang juga koordinator pelaksana acara tersebut.
Saat ini, RUU PKS telah masuk Prolegnas Prioritas 2021. Meski begitu, ungkap Fanda, dorongan dan pengawalan agar RUU ini segera dibahas dan disahkan harus terus diperkuat dan dimasifkan.
“Yang perlu dilakukan, mengawal agar RUU ini segera dibahas dengan serius dan menyeluruh. Kemudian mendorong agar segera disahkan menjadi undang-undang. Salah satu langkahnya, meyakinkan para Stakeholder beserta masyarakat Indonesia bahwa undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual sangat penting dan menjadi kebutuhan. Sebagai payung hukum, yang tidak hanya soal sanksi kepada pelaku, namun juga menyangkut hak-hak korban dan bicara soal pencegahan. Intinya, Indonesia butuh payung hukum yang komprehensif dalam rangka menghapuskan kekerasan seksual,” jelasnya.
Oleh karena itu, berbagai bentuk pengawalan seperti kajian/diskusi publik, kampanye/ gerakan sosial media ataupun aksi offline, menjadi beberapa langkah penting. Dalam rangka meyakinkan pemangku kebijakan, mendukung serta memberikan dorongan agar RUU itu segera disahkan menjadi undang-undang.
“Selain koordinasi tentang strategi pengawalan lanjutan, kita juga melakukan evaluasi dan sharing informasi tentang kasus kekerasan seksual di daerah kawan-kawan Cabang masing-masing,” tambahnya.
Di tataran nasional, beber Fanda, yang juga disampaikan dalam forum. Dalam konteks pengawalan RUU ini, DPP GMNI telah memiliki tim khusus untuk kampanye RUU PKS. Di antaranya Timsus Gerak RUU PKS dan Gerakan Pemuda Menghapus Kekerasan Seksual (Gepmakarsa).
Pembahasan berikutnya. Tentang stunting. Berkaitan stunting, dibutuhkan peran pemerintah dan masyarakat. GMNI, dapat menjadi kekuatan, mengambil bagian dalam memberantas stunting. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.
Pertama, lanjut Fanda, mendorong pemerintah, khususnya Kemenkes untuk segera menyelesaikan petunjuk teknis (juknis) tentang penanganan stunting. Seperti diketahui, penanganan stunting ditetapkan sebagai salah satu Program Strategis Nasional (PSN).
Salah satu kendala saat ini, petunjuk teknis atas Permenkes No 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit, belum diterbitkan oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. Padahal, fungsi juknis itu, penting untuk pelaksanaan peraturan menteri tersebut secara penuh, utuh, terukur, terarah dan tepat sasaran.
Kedua, mengambil peran dalam melakukan pendidikan mengenai stunting dan ruang lingkup kesehatan anak lainnya kepada masyarakat umum maupun mahasiswa. Ketiga, membangun gerakan kolaboratif dengan pemerintah, organisasi, kelompok masyarakat lainnya dan atau layanan Kesehatan.
“Tingginya prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak negatif bagi negara. Beberapa di antaranya, menghambat agenda pembangunan manusia, ekonomi, kesehatan nasional dan mengakibatkan kualitas SDM rendah. Di sisi lain, berpengaruh pada keberlanjutan generasi, berpengaruh pada pembangunan nasional dan berdampak buruk bagi kelanjutan peradaban di Indonesia. Oleh karena itu, stunting harus kita perangi bersama,” imbaunya.
Fokus bahasan berikutnya dalam forum Sarinah se-nasional tersebut, tentang Perkawinan Anak. Tentu, hal ini mebawa pengaruh atau dampak negatif.
"Iya. Akan muncul dampak ekonomi, sosial, kesehatan, misalnya soal reproduksi dan seksual, serta dampak psikologis. Di sini, dibutuhkan keseriusan dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ketegasan pelarangan perkawinan anak ini," ungkap Winda Purnama Ningsih, Sekretaris Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI.
Winda menjelaskan, dampak ekonomi dari perkawinan anak, seringkali menimbulkan siklus kemiskinan baru.
"Anak remaja di bawah umur 18 tahun, seringkali belum mapan. Atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah. Hal itu menyebabkab anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarga," tambahnya.
Kemudian dampak psikologis. Secara mental, belum siap menghadapi perubahan peran dan masalah rumah tangga.
"Sehingga seringkali, menimbulkan penyesalan akan kehilangan masa sekolah dan remaja. Perkawinan anak juga berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Yang mengkibatkan trauma sampai kematian. Terutama dialami oleh remaja perempuan dalam perkawinan," ungkapnya.
Rembuk Sarinah Nasional inisiasi Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI ini berlangsung selama 2 hari. Secara daring. Pada hari pertama, pembahasan difokuskan pada formulasi gerakan Sarinah kedepan serta pemantapan perspektif pemikiran Sukarno tentang gerakan perempuan Indonesia.
Laporan : Ari.
Editor : Adhar.